“Biografi
Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera”
Tengku
Amir Hamzah Pangeran Indera Putera adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan
Pujangga Baru dan juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia. Tengku Amir
Hamzah Pangeran Indera Putera lebih dikenal dengan nama pena Amir Hamzah. Amir
Hamzah berkebangsaan Indonesia dengan suku bangsa Melayu. Salah satu karyanya
yang terkenal yaitu Sajak Buah Rindu(1937) dan Nyanyi Sunyi (1941). Aliran
sastra Amir Hamzah adalah bersifat simbolisme dan bertemakan Cinta dan Agama.
Amir
Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur pada tanggal 28 Februari
1911. Ia lahir dalam lingkungan keluarga
bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) di Sumatera Utara dan banyak
berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Ia dididik di Sumatera
dan Jawa. Amir Hamzah merupakan putra bungsu dari Wakil Tengku Muhammad Adil
dan istri ketiganya, Tengku Mahdjiwa. Tengku Muhammad Adil merupakan Wakil
Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan
silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke 10
dari Sultan Langkat. Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengku Hamzah
sebagai nama keduanya sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang
anak bangsawan, dia sering bergaul dalm lingkungan Non Bangsawan.
Amir Hamzah menghabiskan masa kecilnya
di kampung halamannya. Amir dididik dalam prinsip prinsip Islam, seperti
mengaji, fikih dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari
usia muda. Di sekolah formal berbahasa Belanda di mana pertama kali Amir
belajar, ia mulai menulis dan mendapat penilaian penilaian yang bagus. Pada
tahun 1924, Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan
untuk belajar di Meer Uitgebreia Lager Onderwijs (MULO, Sekolah Menengah Pertama).
Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan
formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja Bun, dan keduanya sengaja
dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orangtua mereka. Karena
orangtuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian
pergi ke ibukota colonial Hindia Belanda di Batavia(Jakarta) untuk
menyelesaikan studinya. Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di
laut selama 3 hari di kapal Plancus.
Setelah tiba di Batavia, ia masuk di
Christelijk MULO Menjangan, dimana ia meyelesaikan tahun SMP terakhirnya. Amir
juga mempelajari beberapa konsep dan nilai nilai Kekristenan. Di Batavia, Amir
juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatera. Saat periode ini Amir menulis
puisi pertamanya, namun Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah
dengan pria lain tanpa sepengatahuan Amir. Amir menulis puisi “Tinggallah”
setelah ia naik kapal Plancus saat ia
rindu dengan ayah bundanya.
Saat berguru di SMA di Surakarta
sekitar 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta
dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan
studinya di sekolah hukum di Batavia( sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat,
hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk
menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton.
Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menjabat
sebagai wakil pemerintah di Langkat.
Namun pada tahun pertama Negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam
peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatera yang disulut oleh fraksi dari
Partai Komunis Indonesia.
Amir mulai menulis puisi saat masih
remaja, meskipun karya karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan
telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa.
Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan dan
Sastra Timur. Amir menulis 50 puisi, 18 puisi prosa dan berbagai karya lainnya
termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah
sastra Pujangga Baru.Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian
besar puisi puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, “Nyanyi Sunyi”(1937) dan
Buah Rindu(1941).
Awalnya Pujangga Baru, kemudian
sebagai buku yang diterbitkan. Puisi puisi Amir sarat dengan tema cinta dan
agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi
pilihannya menggunakan kata kata Bahasa Melayu dan Bahasa Jawa dan memperluas
struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum serta
simbolisme yang berhubungan dengan istilah istilah tertentu. Karya karya
awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis maupun ideal.
Sedangkan karya karya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius.
Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi
dianggap lebih maju.Untuk puisi puisinya, Amir telah disebut sebagai “Raja
Penyair Pujangga Baru” dan satu satunya penyair Indonesia berkelas
Internasional dari era Pra-Revolusi Nasional Indonesia.
Amir Hamzah bersekolah menengah dan
tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan
Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan
modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941)
yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan
saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama
dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga
Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya
angkatan sastrawan Pujangga Baru.
Amir mendirikan Pujangga Baru dengan
Armin Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana. Setelah menyelesaikan sekolah menengah
dan kepulangan singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya di Algemen
Middelbare School(AMS, Sekolah Menengah Atas) yang dioperasikan Budi Utomo di
Surakarta dimana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa,
Sansekerta, dan Arab. Amir adalah seorang pribadi yang suka menyendiri dari
pada hiruk pikuknya di asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah
pribadi yang dimiliki oleh residen di Surakarta. Kemudian ia bertemu beberapa
orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijin Pane dan Achidiat Karta
Mihardja. Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan
bertemu dengan sesama perantau Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial rakyat
Melayu Nusantara dibawah kekuasaan kolonial Belanda. Tahun 1930 Amir menjadi
kepala cabang dari Indonesia Muda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam
Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi tersebut. Di
sekolah, kemudian ia jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang
hampir seusia dengannya. Soendari adalah putra Raden Mas Koesoemodihardjo,
adalah slah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya
berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir Amir mengajari Soendari
Bahasa arab, dan mengajari Soendari bahasa Jawa. Mereka segera bertemu setiap
hari, bercakap cakap dengan berbagai topik.
Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931,
dan ayahnya setahun setelahnya. Pendidikan Amir pun tidak bias dibiayai lagi.
Setelah studi AMS-nya selesai, ia ingin terus melanjutkannya di sekolah hukum
di Batavia. Karena itu, ia menulis surat kepada saudaranya Jakfar yang mengatur
agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932, Amir
mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya, mengambil pekerjaan paruh
waktu sebagai guru. Amir dan Soendari dilarang bertemu ketika orangtua Soendari
mengetahui hubungan mereka. Pada tahun tersebut, Amir menciptkan puisi “Sunyi”
dan “Mabuk”, diterbitkan dalam edisi Maret Majalah Timbul. Delapan karyanya
yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat
Hang Tuah, tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa dan dua buah cerita
pendek. Puisi itu kembali diterbitkan dalam Timbul, sementara prosa tersebut
terbit dalam majalah Pandji Pustaka.
Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil
kembali ke Langkat, dimana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus
Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan
meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia. Namun pada tahun 1937, Amir menikah
dengan Kamiliah, padahal Amir tidak mencintai Kamiliah. Pada tahun 1939
pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putrid bernama Tengku
Tahura. Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencinatinya
karena ia telah memiliki Soendari dan ia merasa bahwa ia berkewajiban untuk
menikahinya.
Meskipun Amir hanya melakukan sedikit
korespondensi dengan teman temannya di Jawa, puisi puisi yang sebagian besar
ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Pujangga Baru. Koleksi puisi pertamanya,
“Nyanyi Sunyi” diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua
tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi
yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi
Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya,
Boeah Rindoe, diterbitkan. Semuanya kemudian diterbitkan
sebagai buku. Sebuah buku terakhir, Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya",
diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio
yang disampaikan Amir.
Revolusi Nasional Indonesia sedang
berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru
didirikan tidak stabil. Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir
telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke
Sumatera, dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam
populasi jelata Langkat. Pada tanggal 7 Maret1946
selama revolusi sosial yang
dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah
kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum
bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap, sementara Kamiliah
dan Tahoera lolos. Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang
lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar
10 kilometer di luar Binjai. Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan
bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka,
dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.
Pada
pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan
lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan
tersebut, beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut. Setelah
dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi
oleh tim yang dipimpin oleh Adnan
Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Dimana
Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut. Pada tahun
1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali
dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang
belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang
hilang. Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid
Azizi di Tanjung Pura, Langkat. Atas jasa-jasanya,
Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.
Hal Hal yang Menarik dari Tengku Amir Hamzah
1.
Kepribadian Amir
yang religus, patuh dan tekun, serta cerdas
2.
Mampu membuat
berbagai karya sastra yang sangat indah, seperti puisi, pantun, dan prosa liris
3.
Mampu mengisahkan
kehidupannya ataupun orang lain menjadi puisi yang indah
4.
Puisi puisinya
sangat menyentuh hati
5.
Merupakan
Pahlawan Nasional Indonesia, sekaligus Sastrawan Indonesia
6.
Lirik karangan
prosa Amir Hamzah yang menarik yang menceritakan kesan kesan dari pengalamannya
dalam kehidupan sehari hari dan melukiskan kehidupan dan peristiwa dalam istana
Raja Raja Melayu
7.
Hasil Karya
Sastra yang dihasilkan mendapatkan pengaruh doktrin Islam sebab Amir adalah
seorang Muslim Ortodoks Murni
8.
Merupakan
sastrawan yang Kreatif dalam berkarya
9.
Karya sastra yang
dihasilkan berisi tentang keinginannya untuk bertemu dengan Tuhan, sementara
Amir harus melalui jalan tragis, terbunuh dalam revolusi yang disebut oleh para
penggeraknya sebagai revolusi suci demi kedaulatan Indonesia
10.
Penggunaan pola
kalimat yang menarik yaitu menggunakan pola kalimat aktif dalam setiap karya
sastranya. Selain itu, ia mampu menghasilkan makna yang dalam di setiap karya
sastranya
11.
Amir Hamzah tidak hanya
menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair
yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di
tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai
hingga zaman sekarang.
Hal Hal yang Patut Diteladani dari Tengku Amir Hamzah
1.
Semangatnya untuk
menghasilkan karya yang sempurna meskipun banyak rintangan yang menghadang.
Artinya dalam seluk beluk kehidupannya, ia mampu menjalaninya dengan baik dan
dari rintangan hidupnya ia mampu menciptakan karya sastra yang terkenal
2.
Kerealitasannya
sebagai seorang manusia, dan kapasitasnya sebagai seorang penyair, dimana hal
ini berjalan seiring, saling mempengaruhi, dan saling menjelaskan
3.
Berwawasan luas,
tetapi tetap mencintai negaranya dan memiliki nasionalisme yang tinggi
4.
Rela berkorban
demi menghilangkan kolonialisme dan meningkatkan sosialisme Bangsa Indonesia
Tokoh
yang dedikasinya mirip dengan Amir Hamzah adalah Chairil Anwar, dibuktikan dari
pendidikan Chairil Anwar yang bersekolah di MULO (Sekolah Menegah Pertama) dan
menjadi seorang sastrawan terkenal, menghasilkan karya karya puisi dan syair
yang bertemakan tentang kehidupannya
Karya Karya yang
Dihasilkan Tengku Amir Hamzah
1.
Kumpulan Sajak
Buah Rindu
2.
Kumpulan Sajak
Nyanyi Sunyi
3.
Kumpulan Sajak
Setanggi Timur
4.
Buku Sastra
Melayu dan Raja Rajanya
5.
Buku Kesusastraan
Indonesia Baru
6.
Buku Esai dan
Prosa
Penghargaan
Penghargaan yang Diperoleh Oleh Tengku Amir Hamzah
1.
Penghargaan Satya
Lencana(1967)
2.
Penghargaan
sebagai Pahlawan Nasional di bidang Bahasa dan Sastra(1968)
3.
Tanda Kehormatan
Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI(1969)
4.
Anugerah Seni
Sastrawan Indonesia Utama dari Mendikbud(1969)
5.
Diangkat sebagai
Pahlawan Nasional(1975)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar