Sabtu, 09 Agustus 2014

Biografi Sastrawan Indonesia - T.A.Hamzah


“Biografi Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera”

Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru dan juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia. Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera lebih dikenal dengan nama pena Amir Hamzah. Amir Hamzah berkebangsaan Indonesia dengan suku bangsa Melayu. Salah satu karyanya yang terkenal yaitu Sajak Buah Rindu(1937) dan Nyanyi Sunyi (1941). Aliran sastra Amir Hamzah adalah bersifat simbolisme dan bertemakan Cinta dan Agama. 
Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur pada tanggal 28 Februari 1911. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu  (Kesultanan Langkat) di Sumatera Utara dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Ia dididik di Sumatera dan Jawa. Amir Hamzah merupakan putra bungsu dari Wakil Tengku Muhammad Adil dan istri ketiganya, Tengku Mahdjiwa. Tengku Muhammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke 10 dari Sultan Langkat. Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengku Hamzah sebagai nama keduanya sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalm lingkungan Non Bangsawan.
Amir Hamzah menghabiskan masa kecilnya di kampung halamannya. Amir dididik dalam prinsip prinsip Islam, seperti mengaji, fikih dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda. Di sekolah formal berbahasa Belanda di mana pertama kali Amir belajar, ia mulai menulis dan mendapat penilaian penilaian yang bagus. Pada tahun 1924, Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreia Lager Onderwijs (MULO, Sekolah Menengah Pertama). Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja Bun, dan keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orangtua mereka. Karena orangtuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi ke ibukota colonial Hindia Belanda di Batavia(Jakarta) untuk menyelesaikan studinya. Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama 3 hari di kapal Plancus.
Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, dimana ia meyelesaikan tahun SMP terakhirnya. Amir juga mempelajari beberapa konsep dan nilai nilai Kekristenan. Di Batavia, Amir juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatera. Saat periode ini Amir menulis puisi pertamanya, namun Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa sepengatahuan Amir. Amir menulis puisi “Tinggallah” setelah ia naik kapal Plancus  saat ia rindu dengan ayah bundanya.
Saat berguru di SMA di Surakarta sekitar 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia( sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun pada tahun pertama Negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatera yang disulut oleh fraksi dari Partai Komunis Indonesia.
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja, meskipun karya karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan dan Sastra Timur. Amir menulis 50 puisi, 18 puisi prosa dan berbagai karya lainnya termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Pujangga Baru.Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, “Nyanyi Sunyi”(1937) dan Buah Rindu(1941).
Awalnya Pujangga Baru, kemudian sebagai buku yang diterbitkan. Puisi puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya menggunakan kata kata Bahasa Melayu dan Bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah istilah tertentu. Karya karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis maupun ideal. Sedangkan karya karya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius.
Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi dianggap lebih maju.Untuk puisi puisinya, Amir telah disebut sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru” dan satu satunya penyair Indonesia berkelas Internasional dari era Pra-Revolusi Nasional Indonesia.
Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru.
Amir mendirikan Pujangga Baru dengan Armin Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana. Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya di Algemen Middelbare School(AMS, Sekolah Menengah Atas) yang dioperasikan Budi Utomo di Surakarta dimana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sansekerta, dan Arab. Amir adalah seorang pribadi yang suka menyendiri dari pada hiruk pikuknya di asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen di Surakarta. Kemudian ia bertemu beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijin Pane dan Achidiat Karta Mihardja. Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara dibawah kekuasaan kolonial Belanda. Tahun 1930 Amir menjadi kepala cabang dari Indonesia Muda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi tersebut. Di sekolah, kemudian ia jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya. Soendari adalah putra Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah slah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir Amir mengajari Soendari Bahasa arab, dan mengajari Soendari bahasa Jawa. Mereka segera bertemu setiap hari, bercakap cakap dengan berbagai topik.
Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya. Pendidikan Amir pun tidak bias dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya selesai, ia ingin terus melanjutkannya di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis surat kepada saudaranya Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932, Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya, mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru. Amir dan Soendari dilarang bertemu ketika orangtua Soendari mengetahui hubungan mereka. Pada tahun tersebut, Amir menciptkan puisi “Sunyi” dan “Mabuk”, diterbitkan dalam edisi Maret Majalah Timbul. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah, tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa dan dua buah cerita pendek. Puisi itu kembali diterbitkan dalam Timbul, sementara prosa tersebut terbit dalam majalah Pandji Pustaka.
Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, dimana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia. Namun pada tahun 1937, Amir menikah dengan Kamiliah, padahal Amir tidak mencintai Kamiliah. Pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putrid bernama Tengku Tahura. Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencinatinya karena ia telah memiliki Soendari dan ia merasa bahwa ia berkewajiban untuk menikahinya.
Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman temannya di Jawa, puisi puisi yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Pujangga Baru. Koleksi puisi pertamanya, “Nyanyi Sunyi” diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan. Semuanya kemudian diterbitkan sebagai buku. Sebuah buku terakhir, Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya", diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.
Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil. Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatera, dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat. Pada tanggal 7 Maret1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap, sementara Kamiliah dan Tahoera lolos. Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai. Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.
Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut, beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut. Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut. Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang. Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat. Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Hal Hal yang Menarik dari Tengku Amir Hamzah
1.       Kepribadian Amir yang religus, patuh dan tekun, serta cerdas
2.       Mampu membuat berbagai karya sastra yang sangat indah, seperti puisi, pantun, dan prosa liris
3.       Mampu mengisahkan kehidupannya ataupun orang lain menjadi puisi yang indah
4.       Puisi puisinya sangat menyentuh hati
5.       Merupakan Pahlawan Nasional Indonesia, sekaligus Sastrawan Indonesia
6.       Lirik karangan prosa Amir Hamzah yang menarik yang menceritakan kesan kesan dari pengalamannya dalam kehidupan sehari hari dan melukiskan kehidupan dan peristiwa dalam istana Raja Raja Melayu
7.       Hasil Karya Sastra yang dihasilkan mendapatkan pengaruh doktrin Islam sebab Amir adalah seorang Muslim Ortodoks Murni
8.       Merupakan sastrawan yang Kreatif dalam berkarya
9.       Karya sastra yang dihasilkan berisi tentang keinginannya untuk bertemu dengan Tuhan, sementara Amir harus melalui jalan tragis, terbunuh dalam revolusi yang disebut oleh para penggeraknya sebagai revolusi suci demi kedaulatan Indonesia
10.   Penggunaan pola kalimat yang menarik yaitu menggunakan pola kalimat aktif dalam setiap karya sastranya. Selain itu, ia mampu menghasilkan makna yang dalam di setiap karya sastranya
11.   Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.

Hal Hal yang Patut Diteladani dari Tengku Amir Hamzah
1.       Semangatnya untuk menghasilkan karya yang sempurna meskipun banyak rintangan yang menghadang. Artinya dalam seluk beluk kehidupannya, ia mampu menjalaninya dengan baik dan dari rintangan hidupnya ia mampu menciptakan karya sastra yang terkenal
2.       Kerealitasannya sebagai seorang manusia, dan kapasitasnya sebagai seorang penyair, dimana hal ini berjalan seiring, saling mempengaruhi, dan saling menjelaskan
3.       Berwawasan luas, tetapi tetap mencintai negaranya dan memiliki nasionalisme yang tinggi
4.       Rela berkorban demi menghilangkan kolonialisme dan meningkatkan sosialisme Bangsa Indonesia

Tokoh yang dedikasinya mirip dengan Amir Hamzah adalah Chairil Anwar, dibuktikan dari pendidikan Chairil Anwar yang bersekolah di MULO (Sekolah Menegah Pertama) dan menjadi seorang sastrawan terkenal, menghasilkan karya karya puisi dan syair yang bertemakan tentang kehidupannya

Karya Karya yang Dihasilkan Tengku Amir Hamzah
1.       Kumpulan Sajak Buah Rindu
2.       Kumpulan Sajak Nyanyi Sunyi
3.       Kumpulan Sajak Setanggi Timur
4.       Buku Sastra Melayu dan Raja Rajanya
5.       Buku Kesusastraan Indonesia Baru
6.       Buku Esai dan Prosa

Penghargaan Penghargaan yang Diperoleh Oleh Tengku Amir Hamzah
1.       Penghargaan Satya Lencana(1967)
2.       Penghargaan sebagai Pahlawan Nasional di bidang Bahasa dan Sastra(1968)
3.       Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI(1969)
4.       Anugerah Seni Sastrawan Indonesia Utama dari Mendikbud(1969)
5.       Diangkat sebagai Pahlawan Nasional(1975)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar